Jumat, 29 April 2016

Menunggu Kedatangannya Kembali

Sebuah kisah dari negeri terdekat. Terdekat dengan matahari kata orang-orang. Tapi ternyata itu hanya perumpamaan tentang suhu yang membuat orang-orang di sana mendambakan kesegaran dengan cara mandi. Perumpaan yang menyedihkan bukan.. tapi tak apa jika negeri itu sedikit benar adanya. Baiklah aku sedikit mengakui pendapat orang di luar negeri itu. Tempat kediamanku termasuk yang di dalamnya para orang rajin jebar jebur di kamar mandi. Ya itulah obat keganasan suhu tinggi (agak berlebihan hei..haha). Ini akan jadi kisah panjang, namun tak tahu sampai sepanjang apa karena menceritakan tentang para manusia dari beberapa usia, yakni mulai dari 3 tahun sampai manusia yang berusia seperti sang penulis ini.
Ini kisahku dalam dunia si kecil berusia 3-4 tahun. Bukan kisah masa lalu saat aku kecil, tapi adalah kisahnya. Dan kini aku bersama para generasi penerus usia 3 dan 4 tahun. Ooh tidak, tidak, aku bukan ibunya. Ya..haha! Iya, tapi aku pendidiknya, insya Allah. Beginilah keseharianku. Aku bukan seorang lulusan pendidik PAUD. Ini adalah sebuah keputusan. Aku tidak mundur, sungguh. Justru aku maju dengan sebuah keputusan. Bagaimanapun aku hantarkan diri untuk berlatih. InsyaAllah selalu berlatih dalam melewati jenjang hidup ini.
Kelas ini disebut Kober (kelompok bermain). Berlatihnya aku dalam mendidik tidak sendiri, ada beberapa orang amat berperan. Tersebutlah juga seorang gadis (ehem) admin yang cantik. Panggil saja ia Zia. Sosok yang selalu menguatkanku, menolongku yang sedang rempong, ya maklum bu guru kober baru ya. Tentunya berbeda dengan saat menghadapi tk A dan B. Dan tentunya aku sadar harus beberapa kali belajar dari pengalaman pahit, manis, asin, ataupun asam. Kelas kober, personilnya 9 orang. Ya.. jumlah yang cukup membuat kelas riweuh dengan suara-suara mereka. Yaa.. suara-suara para anak kota yang berbeda dengan anak desa. Pengaruh kultur budaya dan lainnya. Namun, bagaimanapun juga, jangan sampai aku menyalahkan mereka apalagi membentak mereka. Walaupun beberapa waktu ingin berteriak (oops!! No no no). Yang harus dilakukan adalah mendukung mereka untuk berlatih lebih hebat lagi. Tapi tidak seperti yang anda bayangkan karena tidak langsung 9 anak mulai berlatih di kober itu. Semester 1 aku bersama 2 anak, kemudian jadi  6, Dan semester 2 menjadi 7, 8, lalu...9. Ternyata Allah memberikan nomor ganjil. Yaa... Allah Maha Tahu kemampuanku. Jika 9 orang itu bersamaan memenuhi kelas kober, sepertinya bisa ku bayangkan betapa meriahnya :). Betapa mereka semua belum bisa tersenyum semua saat ditinggal ayah bundanya.  Beberapa hari, salah satu murid tidak telihat di kelas. Saat aku tanyakan pada bundanya, jawaban yang selalu dijawab anaknya adalah, "Mau di rumah aja", begitu tuturnya. Alasan yang cukup membuat tersenyum. Beberapa cara ku lakukan. Padahal saat dengar alasannya sederhana bukan? Tapi ternyata mencari jalan keluarnya tak sesederhana itu. Sampai pada suatu ketika ayah dan bundanya mengambil keputusan untuk anaknya yakni berhenti sekolah. Keputusannya diutarakan pada kepala sekolah. Aku masih awam untuk masalah berhenti sekolah seperti itu. Dan pastinya kepala sekolah yang lebih berwenang. Sambil ku menunggu kedatangannya, yaitu muridku yang lucu berwajah bulat itu, akupun mencari cara untuk menggerakkan hatinya untuk melangkah kembali ke sini. Karena kami para personil akan bermain bersama lagi. Bermain sambil berlatih. Begitulah menurutku sebutan untuk kober beranggotakan mereka yang berumur 3-4 tahun. Kemudian.. aku masih menunggu kedatangannya.
Bersambung ...

Dari penulis amatir. Nantikan terus ya kisahnya :D. -Anni Mujahidah-